Baru-baru ini, kabar pernikahan pasangan influencer dan tokoh agama, Gus Zizan dan Kamila Asy Syifa, menjadi perbincangan publik. Mereka menikah pada Jumat, 4 Oktober 2024, di usia yang cukup muda. Gus Zizan lahir pada tahun 2005 dan kini berusia 19 tahun, sementara Kamila lahir pada tahun 2007 dan berusia 17 tahun, yang berarti mereka masih di bawah umur untuk menikah sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.
Pernikahan ini menuai beragam respon dari netizen Indonesia. Banyak yang mendoakan agar pernikahan mereka sakinah mawadah warohmah, namun tak sedikit pula yang memberikan komentar pedas. Kekhawatiran muncul karena Gus Zizan dan Kamila adalah influencer bagi generasi Z, dan tindakan mereka dapat mempengaruhi pengikut yang masih di bawah umur. Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai fenomena pernikahan dini di kalangan generasi Z?
Dalam syariat Islam, tidak ada ketentuan usia minimum untuk menikah. Namun, seseorang harus mencapai usia baligh, yaitu 15 tahun, serta memiliki pertimbangan dan kedewasaan yang matang. Pernikahan dini dapat diperbolehkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU Perkawinan. Dalam UU Perkawinan, calon mempelai yang belum berusia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua. Pernikahan dini dapat dianggap haram jika menimbulkan mudarat. Dalam Islam, pernikahan merupakan bagian dari takdir Allah yang telah ditetapkan.
Sebuah penelitian oleh Kartika Sri Rohana (2019) menyebutkan bahwa pernikahan dini dapat berisiko buruk. Jika dilakukan, pernikahan dini dapat menyebabkan anak kehilangan masa kanak-kanak dan remajanya, hilangnya kebebasan personal, kurangnya kesempatan untuk mengembangkan rasa percaya diri, serta dampak negatif pada kesejahteraan psikologis dan emosional. Kesehatan reproduksi juga dapat terganggu, dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan formal yang lebih tinggi bisa hilang.
Meskipun ada pro dan kontra terkait pernikahan dini, pada dasarnya Islam tidak melarangnya. Namun, Islam juga tidak mendorong atau menganjurkan pernikahan dini. Dalam masalah pernikahan, Islam mendorong agar pernikahan dilaksanakan bagi mereka yang telah mampu, dengan penekanan pada kesuksesan dalam pernikahan.
Fenomena ini memicu kesadaran kritis dari masyarakat. Bahwa banyak influencer media sosial yang tidak mempertimbangkan dengan mendalam bahwa tindakan mereka bisa ditiru oleh pengikut yang memiliki latar belakang berbeda. Tanpa persiapan yang matang, penafsiran agama yang bias mengenai pernikahan sering disederhanakan menjadi "pernikahan adalah melaksanakan sunnah rasul, dan rezekinya akan dicukupkan oleh Allah." Padahal, pernikahan yang ideal harus mempertimbangkan aspek psikologis, ekonomi, ilmu pengasuhan, komunikasi dengan pasangan, dan lainnya. Aspek agama bukanlah satu-satunya pertimbangan tanpa didukung oleh aspek lainnya.
Semoga hal ini menjadi pencerahan bagi netizen Indonesia agar tidak selalu meniru apa yang dilakukan orang lain. Penting untuk mencerna mana yang baik dan mana yang buruk, serta mengambil hikmah dari kejadian yang ada.
Penulis: Nafisatul Khusna