Fenomena "No Viral No Justice": Wakili Ketidakmerataan Proses Hukum di Indonesia

Ilustrasi media sosial (dok: Istimewa)


Ungkapan "no viral no justice" berarti bahwa tanpa viralitas, keadilan sulit dicapai. Istilah ini bukan hanya jargon hukum, tetapi juga strategi untuk memperoleh keadilan dalam proses hukum. Profesor Dr. H. Nur Khoirin, Guru Besar Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, menyatakan bahwa "jika tidak menjadi perhatian publik (viral), maka keadilan sulit untuk hadir."

Fenomena "no viral no justice" kini berpengaruh signifikan terhadap proses hukum di Indonesia. Sorotan publik yang semakin banyak meningkatkan tekanan pada penegak hukum untuk lebih cepat menyelesaikan kasus. Namun, muncul pertanyaan: apakah "keviralan" ini benar-benar menjamin keadilan dalam penegakan hukum?

Kasus Pelecehan Seksual di KPI

Contoh nyata adalah kasus pelecehan seksual yang dialami pegawai KPI berinisial MS. Kejadian ini terjadi pada 2012, namun baru mendapat perhatian setelah MS menulis di media sosial pada September 2021. Dalam tulisannya, MS meminta bantuan Presiden Joko Widodo dan menceritakan perlakuan buruk yang dialaminya, termasuk perundungan dan pelecehan seksual. 

“Tolong pak joko Widodo, saya tak kuat dirundung dan dilecehkan di KPI, saya trauma buah zakar dicoret spidol oleh mereka”, tulis MS dalam sebuah kolom twitter/ X.

Tindakan ini menarik perhatian netizen dan akhirnya pihak kepolisian serta KPI mengambil langkah untuk menindaklanjuti kasus tersebut. Sebelumnya, MS telah melaporkan kejadian ini ke Polsek Gambir sebanyak dua kali pada 2019 dan 2020, tetapi tidak ada tindakan lanjut.

Berkaca pada kasus ini, menunjukkan bahwa fenomena "no viral no justice" dapat berfungsi sebagai model gerakan di masa depan. Motif di balik fenomena ini adalah simpati dan kepedulian terhadap ketidakadilan yang terlihat di media sosial. Hal ini menggiring opini masyarakat untuk lebih sadar akan ketidakadilan yang terjadi.

Berkaca pada kasus diatas, fenomena “no viral no justice” dijadikan sebagai role model pergerakan dimasa yang akan datang. Motif dari fenomena ini tidak lain dan tidak bukan merupakan sebuah bentuk simpati dan kepedulian yang muncul karena adanya ketidakadilan yang kita lihat di media sosial. Fenomena “no viral no justice” sendiri bersifat menggiring opini masyarakat menjadi sebuah kesadaran terkait ketidakadilan yang sedang terjadi. 

Dari fenomena ini, kita bisa melihat bagaimana sistem hukum di Indonesia berjalan. Bahwa sistem hukum di Indonesia menunjukkan ketidakmerataan. Hukum di negara ini tidak berjalan sesuai dengan kalimat yang di agungkan dalam dunia hukum “equality before the law”. Kenyataannya, keadilan hanya berlaku bagi yang berkuasa, sementara masyarakat biasa cenderung diabaikan jika tidak viral.

Keadilan seringkali bergantung pada perhatian publik dimana hal ini bisa berpengaruh pada kredibilitas dan kemurnian proses hukum yang ada. Tekanan dari publik dapat mengubah arah penyidikan dan keputusan hukum, berpotensi menjadikannya tidak objektif.

Walaupun demikian fenomena "no viral no justice" dapat dipandang negatif, ada sisi positif yang perlu dicatat. Fenomena ini mencerminkan kepekaan dan kepedulian masyarakat terhadap ketidakadilan di sekitar mereka, serta berfungsi sebagai dorongan bagi lembaga terkait untuk bertindak.

Dengan berkembangnya teknologi, seharusnya kita tidak hanya menggunakan media untuk berkomunikasi, tetapi juga sebagai alat untuk mencerdaskan masyarakat. Penegakan hukum di Indonesia perlu berfokus pada keadilan yang adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, bukan semata-mata pada viralitas. Semua orang harus diperlakukan sama di mata hukum, sesuai dengan prinsip "equality before the law."


Penulis: Itsna Nailil Muna

Lebih baru Lebih lama