Guru merupakan pendidik profesional yang peran utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan formal. Di lingkungan sekolah, seorang guru menjadi suri teladan dalam perilaku maupun perkataan oleh siswanya. Hal ini selaras dengan pepatah Jawa yang melekatkan sosok seorang guru dengan istilah “Digugu lan ditiru”. Artinya, setiap tutur kata maupun perilaku guru dihadapan muridnya, akan selalu dipercaya, dilihat, dinilai, dan ditiru oleh para siswanya.
Namun, bagaimana jika guru sendiri belum bisa menjadi pribadi yang patut dicontoh? Pasalnya, belakangan ini marak konflik intermal antar guru di lingkungan sekolah.
Lantas, apakah pertikaian antar guru juga bisa berdampak pada emosional siswa?
Penulis sendiri pernah menyaksikan dan merasakan langsung berada di lingkungan sekolah, di mana seorang guru merasa kurang nyaman berinteraksi dengan guru lainnya. Beberapa guru cenderung menyukai berada di ruang kelas untuk mengajar dan berjumpa dengan anak didiknya daripada harus berdiam diri di kantor.
Berdasarkan pengamatan penulis, ketidaknyamanan tersebut timbul karena adanya konflik internal antar guru. Terdapat guru yang saling sindir menyindir terhadap kualitas mengajar guru lain dan banyak faktor lainnya. Hal tersebut menyebabkan ruang guru layaknya neraka bagi guru lainnya.
Hal ini disebutkan dalam peneliti Luminita Catana (2017), bahwa penyebab konflik internal antar guru, di antaranya: informasi dan pengalaman yang berbeda untuk masalah yang sama, perbedaan motivasi, kepentingan dan tujuan pribadi, alokasi tugas yang tidak adil. Adapun faktor pendukung lainnya, yaitu: alokasi sumber daya sekolah yang tidak adil, peluang peningkatan karir yang terbatas, penilaian kinerja guru yang subjektif, pelanggaran dalam mengikuti aturan dan peraturan internal.
Kondisi seperti ini, dapat mempengaruhi emosional siswa. Ketika seorang guru sendiri mempunyai konflik internal yang berkepanjangan dan terlihat oleh para siswanya, maka akan berdampak buruk bagi emosional siswa. Siswa akan meniru hal sama yang dilakukan oleh sang guru, seperti berkelahi dengan temannya sendiri di lingkungan sekolah. Selain siswa meniru hal tersebut, siswa akan berpikir bahwa guru tak layak lagi sebagai panutan bagi para siswa-siswinya. Dampaknya, setiap perkataan guru nantinya tak lagi didengar oleh anak didiknya.
Hubungan konflik guru dengan emosional siswa ini pernah terjadi di lingkungan sekolah SMA Negeri 10 Bandung. Berdasarkan berita dari Republika yang berjudul “Konflik Internal Guru Rugikan Siswa", terdapat konflik internal antar guru yang sangat merugikan siswa. Akibatnya, kegiatan belajar megajar di SMA tersebut tidak berjalan dengan baik, bahkan sampai dihentikan. Para Siswa kemudian membuat spanduk dan melakukan aksi demo. Salah satu siswa SMA Negeri 10 bandung ketika diwawancarai, mengatakan bahwa konflik ini membuat siswa mendapatkan tekanan mental dan intimidasi dari segelincir guru. Konflik internal antar guru juga membuat semangat belajar para siswa menurun.
Ironis sekali melihat kondisi lingkungan sekolah yang tak sehat akibat adanya konflik antar guru. Meskipun konflik yang terjadi bersifat internal, namun ketika permasalahan tersebut sudah didengar sampai ke telinga siswa, maka akan berdampak buruk bagi emosional siswa. Sebagai seorang guru bukankah seharusnya memberi contoh yang baik bagi para siswa-siswinya, membimbing serta mengarahkan siswa-siswi ke arah yang lebih baik?
Penulis: Izatul Aini Salsabila