Dalam Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak
mendapatkan Pendidikan.” Hal ini mengisyaratkan bahwa negara
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional guna mencerdaskan kehidupan bangsa.
Namun, sudah menjadi
rahasia umum bahwa Pendidikan nasional kita masih jauh dari yang
diharapkan banyak orang. Baru-baru ini, Indonesia kembali mendapatkan rapor
merah dari hasil survey PISA 2018.
Era keterbukaan dalam globalisasi kini menjadi gengsi tersendiri bagi negara di seluruh dunia untuk saling
berkompetisi menjadi negara terbaik, salah satunya dalam bidang Pendidikan. PISA (The
Programme for International Student Assessment) menjadi salah satu sumber
rujukan dalam mengetahui gambaran kualitas Pendidikan di suatu negara.
Menurut
Breakspear dalam PISA Effect on Curriculum in Indonesia (Indah Pratiwi:
2019), Asesmen PISA dianggap memiliki legitimasi yang kuat karena
menggunakan sasaran subjek dan objek yang terukur. Hal ini terlihat dari
bagaimana respon media massa yang
meliput hasil resmi dari PISA di setiap negara peserta. Jadi, negara dengan
peringkat terbaik menurut survey ini adalah negara dengan sistem Pendidikan terbaik
di dunia.
Rapor Merah Indonesia
Negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development) menginisiasi sebuah program
asesmen dalam bidang Pendidikan bernama PISA atau The Programme for
International Student Assessment. Pada tahun 2000 PISA pertama kali
diselenggarakan guna membantu negara-negara dalam mempersiapkan sumber daya
manusia agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan yang diharapkan dalam pasar
internasional.
Setiap tiga tahun PISA mengeluarkan hasil
risetnya. Tes literasi dasar dalam bidang membaca, matematika, dan sains tanpa
melihat pada kurikulum nasional menjadi subjek asesmen yang diujikan kepada
siswa berusia 15 tahun melalui random sampling. Pertama, literasi
membaca ditujukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam memahami, menggunakan,
merefleksikan, dan menanggapi teks berdasarkan kontek. Kedua, literasi
matematika ditujukan untuk mengetahui kemampuan bernalar siswa secara matematis
dalam menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan perangkat matematis ketika
mendeskripsikan, menjelaskan, serta memprediksi fenomena. Ketiga, literasi
sains ditujukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menanggapi isu-isu sains
dengan menggunakan gagasan-gagasan ilmiah (Anindito Aditomo dan Nisa Felicia:
2018).
Menurut OECD, yang dibutuhkan oleh industry pada abad 21 adalah cara berpikir kritis, kreatif, berbasis riset, inisiatif, informatif, berpikir sistematis, komunikatif dan reflektif.
Pemilihan usia 15 tahun ini adalah
pertimbangan wajib belajar di sejumlah negara. Dalam
program ini, anak-anak muda diasah keterampilan dan pengetahuannya dalam bidang
pelajaran yang diajarkan di sekolah dan juga bagaimana siswa mampu
mengimplementasikan pelajaran di sekolah ke dalam kehidupan nyata. Orientasi
PISA lebih kepada apa yang mereka kuasai di luar sekolah bukan kepada yang
dihafal dari materi yang sudah diajarkan.
Indonesia sendiri menjadi partisipan PISA sejak
tahun 2000 yang secara sukarela memberikan ruang kepada PISA untuk senantiasa
mengevaluasi hasil capaian siswa agar
dapat menjadi refleksi kebijakan Pendidikan di era global. Selama 18 tahun
bergabung menjadi partisipan PISA, Indonesia secara konsisten menjadi negara
yang tak kunjung keluar dari peringkat 10 besar terbawah. Hasil terbaru survey
PISA tahun 2018, yang menilai 600.000 siswa dari 79 negara, dalam kategori kemampuan membaca Indonesia berada di
peringkat 74 dengan skor rata-rata 371.
Untuk kategori matematika, Indonesia memperoleh
skor rata-rata 379 dengan peringkat 73. Terakhir,
dalam kategori sains, rangking Indonesia berada di 71 dengan memperoleh skor
rata-rata 396.
Hasil laporan PISA tersebut dapat kita terjemahkan
bahwa Indonesia masih belum maksimal dalam menyelenggarakan Pendidikan sesuai
yang diharapkan pasar internasional.
Rombak Kurikulum
Dengan menggabungkan diri menjadi negara
partisipan PISA, Indonesia sejatinya telah bersedia untuk senantiasa
mengevaluasi sistem Pendidikan yang selama ini diterapkan. Ini juga berarti
Indonesia siap untuk menghadapi kritik dari berbagai media dan juga beberapa
negara lain. Hasil PISA seharusnya menjadi pijakan dalam menentukan arah perubahan
paradigma Pendidikan nasional. Menurut Indah Pratiwi, salah satu cara untuk
meningkatkan kualitas Pendidikan agar menghasilkan generasi yang siap dalam
pasar internasional adalah dengan mengubah kurikulum.
Menurut OECD, yang dibutuhkan oleh industry pada
abad 21 adalah cara berpikir kritis, kreatif, berbasis riset, inisiatif,
informatif, berpikir sistematis, komunikatif dan reflektif. Akan tetapi
sebanyak 21 negara partisipan PISA, tidak memiliki kurikulum yang berfokus pada
perencanaan masa depan yang dibutuhkan oleh industry global khususnya dalam
bidang matematika yang dalam hal ini mengakomodasi indicator-indikator tersebut
diatas.
Selain itu, negara juga diamanati untuk
megusahakan dan menyelenggarakan satu sistem Pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 31 ayat (3).
Indonesia harus segera mungkin untuk terus
meningkatkan peringkatnya dalam PISA agar dapat bersaing dengan negara lain. Namun,
yang tak boleh dilupakan adalah bahwa Pendidikan dalam aspek afektif untuk senantiasa
dibarengkan dengan Pendidikan yang bersifat kognitif. Sehingga Indonesia akan
menjadi negara yang bukan hanya cerdas namun juga beradab.
LABEL:
Artikel