Gambar: nu.or.id |
Tepat tanggal 22 Oktober 2015 Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015 dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Keputusan tersebut semakin mengokohkan citra pesantren dan sebagai pengahargaan serta bukti atas komitmen kebangsaan para santri yang telah berkontribusi besar dalam mempertahankan NKRI dan berjuang mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia. Dengan demikian, keberadaan santri sangat dibutuhkan untuk bersama-sama menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia kini telah memasuki abad revolusi indutri 4.0. Perkembangan teknologi dan informasi berbasis digital semakin pesat pergerakannya dan mempengaruhi seluruh sendi kehidupan bermasyarakat. Terutama kian meningkatnya peran media sosial yang dapat membawa dampak buruk berkembangnya informasi hoaks yang menjangkit setiap elemen dalam masyarakat. Apalagi di dunia politik digital, media sosial sulit sekali untuk bisa lepas dari hoaks dan ujaran kebencian.
Ancaman dalam jaringan online atau digital tentu membutuhkan perhatian khusus. Sudah saatnya pesantren melalui para santrinya untuk meningkatkan dan menyebarluaskan dakwahnya ke ranah digital secara intensif. Para santri harus bisa menghadirkan narasi-narasi dakwahnya untuk meng-counter opini-opini publik yang berusaha memecah belah persatuan bangsa, sekaligus sebagai syiar ajaran islam dengan membawa nilai-nilai Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan juga sebagai upaya untuk menjaga kedaulatan digital bangsa ini dari segala bentuk ancaman paham radikalisme dan anti kebangsaan.
Minimnya Literasi Digital Santri
Salah satu dampak dari revolusi industri 4.0 adalah perkembangan media sosial yang semakin signifikan di ranah digital. Perkembangan ini menjadikan media sosial diminati oleh banyak masyarakat dari semua kalangan dan berbagai usia. Celakanya, masih banyak oknum-oknum yang dengan sengaja menyebarkan narasi-nasasi hoaks dan ujaran kebencian ataupun menyalahgunakan media sosial demi memenuhi kepentingan pribadi semata tanpa mempedulikan pihak-pihak yang dirugikan.
Dalam rangka mengantisipasi dampak buruk dari teknologi digital tersebut maka diperlukan pengetahuan tentang literasi digital. Mungkin istilah literasi digital masih belum sepenuhnya familiar di telinga masyarakat Indonesia. Pendeknya, literasi digital adalah kemampuan untuk memahami, menggunakan dan membuat informasi ataupun produk-produk digital dengan menggunakan berbagai teknologi digital. Hal ini sangat bermanfaat untuk masyarakat Indonesia khususnya para santri di Indonesia yang secara garis besar masih tertinggal oleh teknologi digital.
Teknologi digital sejatinya sudah masuk di lingkup pondok pesantren walaupun belum terlalu optimal. Hal ini disebabkan karena mayoritas pesantren membatasi para santrinya dalam penggunaan produk digital atau alat komunikasi seperti handphone, komputer, internet dan semacamnya. Di sisi lain pembatasan ini dimaksudkan agar para santri fokus untuk belajar dan memperdalam ilmu agama. Masalah lain yaitu mayoritas pesantren masih minim dalam fasilitas pendukung untuk mengembangkan literasi digital.
Dengan segala keterbatasannya, pesantren harus mampu mensiasati pengembangan literasi digital di lingkungan pesantren. Literasi digital tidak hanya sebatas pada media sosial saja, namun meliputi alat, sistem dan berbagai kreasi lainnya. Ketidakpahaman akan literasi digital akan membuat penyalahgunaan media yang ada, baik karena tidak tau ataupun dengan sengaja melakukannya. Oleh karena itu literasi digital perlu dibangun untuk mencetak karakter santri yang mampu menyikapi perkembangan teknologi dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang positif.
Dakwah Bil Medsos
Seiring dengan berkembangnya minat masyarakat di ranah media sosial, maka para ulama dan santri khususnya harus mampu menghadirkan narasi-narasi dakwahnya melalui media sosial. Dakwah tidak lagi cukup hanya melalui pengajian, majelis ta’lim dan semacamnya, namun harus masuk ke dunia maya terutama media sosial. Karena disitulah tempat dimana berbagai kalangan masyarakat saling mencari dan membagikan informasi dalam bentuk apapun.
Dakwah secara konvensional dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan masayarakat yang sudah terbiasa digandrungi teknologi digital yang canggih dan serba instan. Tujuan dakwah lewat media sosial salah satunya yaitu agar pesan-pesan dakwah yang disampaikan bisa tersebar lebih luas dan dikonsumsi banyak kalangan. Selain itu juga untuk meng-counter narasi-narasi yang tersebar di jagat dunia maya yang berusaha mengadu domba atau memecah belah umat islam dan bangsa Indonesia.
Santri sebagai penerus para ulama harus memiliki pemahaman dan kemampuan literasi digital yang baik, agar narasi dakwah yang disampaikan dapat dikemas dengan baik dan tersebar luas. Dakwah melalui media sosial, sejatinya sudah dilakukan oleh para santri namun masih belum optimal. Salah satunya yaitu dilakukan oleh sekelompok santri yang tergabung dalam komunitas yang meraka namai ”AIS Nusantara” (Arus Informasi Santri Nusantara) yang menjadi situs forum komunitas online berbasis santri di Indonesia. Hingga saat ini AIS-Nusantara memiliki lebih dari 49,9rb follower dan 1.692 post di Instagram dan 608 subcriber di youtube.
Peran pesantren dalam kehidupan masyarakat sudah sangat signifikan namun belum terlalu menjamah jagat dunia maya. Di era rovolusi industri 4.0 ini pesantren perlu sedikit berbenah diri untuk memaksimalkan dakwahnya dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar. Dakwah melalui media sosial bisa dijadikan strategi untuk mengoptimalkan dakwah santri sekaligus mengokohkan citra pesantren. Karena keberadaan pesantren masih dipandang sebagai lembaga pendidikan islam yang minim kiprahnya di ranah digital.
Berangkat dari realitas yang ada, disamping meningkatkan literasi buku dan kitab-kitab yang menjadi konsumsi sehari-hari para santri, literasi digital juga sangat diperlukan agar narasi dakwahnya bisa dikemas sebaik mungkin dan tepat sasaran. Melalui media sosial para santri juga bisa memperhatikan isu-isu yang faktual di tengah masyarakat dan mengkajinya. Informasi akan viral manakala informasi tersebut sedang ramai diperbincangkan dan menjadi tren. Selain itu, para santri juga akan menemukan ide-ide baru untuk mengembangkan bakat-bakat atau potensinya di bidang teknologi informasi serta menyebarkan dakwah mereka lewat teknologi digital dengan lebih inovatif.
Penulis: Akmal Nur Abadi
Mahasiswa Program Studi Akuntansi Syariah UIN Walisongo Semarang
LABEL:
Artikel